Sabtu, 03 Desember 2011

Geng Motor dari segi sosiologi dan hukum serta Solusi meminimalisir geng-geng motor.

Sebenarnya geng-geng motor sudah ada dari tahun 1978. Yang namanya melegenda saat itu adalah geng motor "M2R" atau Moonraker.
Ya, Bandung lautan gangster sudah mendarah daging dikarenakan sudah ada sejak dari dulu. Disaat geng motor & gangster diseluruh dunia sedang naik daun, seperti di Jepang tahun 70an geng motor lagi jaman, di Amerika gangster tahun 70an baru-baru naik, di Korea tahun 70an juga sama kaya di Jepang dan sama halnya dengan di Bandung tahun 70an ada Moonraker.

Pada saat acara Jambore otomotif yang diadakan oleh IMI kemarin sangat disayangkan terjadi bentrokan antar geng motor yang menelan korban. Hal ini mesti dijadikan pelajaran bagi seluruh insan bikers agar tidak mudah terprovokasi oleh oknum dari anggotanya sendiri. Dan siapa sebenarnya yang patut disalahkan ?

Dalam blog yang saya buat dan saya kutip dari beberapa artikel ini mungkin berguna bagi anda yang ingin mengetahui latar belakang dari para remaja yang mengikuti aktivitas daripada geng-geng motor.


1. Geng Motor Dari Segi Sosiologi Dan Hukum

Geng motor merupakan kelompok sosial yang memiliki dasar tujuan yang sama atau asosiasi yang dapat disebut suatu paguyuban tapi hubungan negatif dengan paguyuban yang tidak teratur dan cenderung melakukan tindakan anarkis. Salah satu kontributor dari munculnya tindakan anarkis adalah adanya keyakinan/anggapan/perasaan bersama (collective belief). Keyakinan bersama itu bisa berbentuk, katakanlah, siapa yang cenderung dipersepsi sebagai maling (dan oleh karenanya diyakini “pantas” untuk dipukuli) ; atau situasi apa yang mengindikasikan adanya kejahatan (yang lalu diyakini pula untuk ditindaklanjuti dengan tindakan untuk, katakanlah, melawan).
Dalam pendapatnya Radam diatas, media-massa dalam hal ini amat efektif menanamkan citra, persepsi, pengetahuan ataupun pengalaman bersama tadi. Maka, sesuatu yang mulanya kasus individual, setelah disebarluaskan oleh media-massa lalu menjadi pengetahuan publik dan siap untuk disimpan dalam memori seseorang. Memori tersebut pada suatu waktu kelak dapat dijadikan referensi oleh yang bersangkutan dalam memilih model perilaku. Adanya keyakinan bersama (collective belief) tentang suatu hal tersebut amat sering dibarengi dengan munculnya geng, simbol, tradisi, graffiti, ungkapan khas dan bahkan mitos serta fabel yang bisa diasosiasikan dengan kekerasan dan konflik.
Pada dasarnya kemunculan hal-hal seperti simbol geng, tradisi dan lain-lain itu mengkonfirmasi bahwa masyarakat setempat mendukung perilaku tertentu, bahkan juga bila diketahui bahwa itu termasuk sebagai perilaku yang menyimpang Adanya dukungan sosial terhadap suatu penyimpangan, secara relatif, memang menambah kompleksitas masalah serta, sekaligus kualitas penanganannya.
Secara perilaku, dukungan itu bisa juga diartikan sebagai munculnya kebiasaan (habit) yang telah mendarah-daging (innate) dikelompok masyarakat itu. Adanya geng-geng motor seperti “XTC, BRIGEZ, GBR, M2R”. Maka adanya pula kecenderungan peningkatan anarki di masyarakat, sadarlah kita bahwa kita berkejaran dengan waktu. Pencegahan anarki perlu dilakukan sebelum tindakan itu tumbuh sebagai kebiasaan baru di masyarakat mengingat telah cukup banyaknya kalangan yang merasakan “asyik”-nya merusak, menjarah, menganiaya bahkan membunuh dan lain-lain tanpa dihujat apalagi ditangkap.
Para pelaku geng motor memang sudah menjadi kebiasaan untuk melanggar hukum. “Kalau soal membuka jalan dan memukul spion mobil orang itu biasa dan sering dilakukan pada saat konvoi.
Setiap geng memang tidak membenarkan tindakan itu, tapi ada tradisi yang tidak tertulis dan dipahami secara kolektif bahwa tindakan itu adalah bagian dari kehidupan jalanan. Apalagi jika yang melakukannya anggota baru yang masih berusia belasan tahun. Mereka mewajarkannya sebagai salah satu upaya mencari jati diri dengan melanggar kaidah hukum. Kondisi seperti ini sangat memprihatinkan dan perlu penyikapan yang bijaksana. Dalam konteks penanganan kejahatan yang dilakukan anak-anak dan remaja masih diperdebatkan apakah sistem peradilan pidana harus dikedepankan atau penyelesaian masalah secara musyawarah (out of court settlement) tanpa bersentuhan dengan sistem peradilan pidana yang lebih dominan walaupun dalam sistem hukum pidana positif kita, penyelesaian perkara pidana tidak mengenal musyawarah.

Dalam kutipan dari sebuah artikel pikiran rakyat :
Betapa rentan dan lemahnya anak-anak atau remaja yang melakukan kejahatan dapat dilihat dari bunyi pasal 45 KUHP.
KUHP kita tidak memberi ruang sedikit pun untuk menyelesaikan kejahatan-kejahatan yang dilakukan anak selain melalui sistem peradilan pidana yang sering dikatakan selalu memberikan penderitaan kepada pihak-pihak yang terlibat di dalamnya khususnya pelaku kejahatan baik pelaku dewasa maupun pelaku anak-anak dan remaja.
Peradilan pidana bagi anak-anak pelaku kejahatan mempunyai dua sisi yang berbeda, di satu sisi sebagaimana diakui konvensi anak-anak, bahwa anak-anak perlu perlindungan khusus. Di sisi lain, "penjahat anak-anak" ini berhadapan dengan posisi masyarakat yang merasa terganggu akibat perilaku jahat dari anak-anak dan remaja tersebut. Kemudian juga anak-anak dan remaja ini akan berhadapan dengan aparat penegak hukum yang secara sempit hanya bertugas melaksanakan undang-undang sehingga pelanggaran dan tata cara perlindungan terhadap pelaku anak, rentan terjadi.
Sebetulnya perhatian kita terhadap perlindungan anak-anak dan remaja pelaku kejahatan harus semakin meningkat. Dunia internasional pun sejak 1924 dalam deklarasi hak-hak anak kemudian diperbarui 1948 dalam deklarasi hak asasi manusia dan mencapai puncaknya dalam Deklarasi Hak anak (Declaration on The Rights of Child) 1958 menegaskan karena alasan fisik dan mental serta kematangan anak-anak, maka anak-anak membutuhkan perlindungan serta perawatan khusus termasuk perlindungan hukum.
Manakala anak-anak dan remaja pelaku kejahatan tersebut bersentuhan dengan sistem peradilan pidana, masyarakat meyakini bahwa mereka sedang belajar di akademi penjahat. Hasil yang dikeluarkan oleh sistem peradilan pidana hanya akan menghasilkan penjahat-penjahat baru.
Kegetiran ataupun masalah-masalah yang dihadapi anak dalam menghadapi sistem peradilan pidana tentu harus ada perhatian dan penyelesaian yang baik, namun kita juga tidak perlu mengabaikan terlaksana hukum dan keadilan, sebab peradilan menunjukkan kepada kita bahwa penyelesaian melalui pengadilan dilakukan secara benar (due process of law) demi kepentingan pelaku anak-anak dan remaja serta masyarakat di lain pihak.
Satu hal penting dalam peradilan anak adalah segala aktivitas harus dilakukan atau didasarkan prinsip demi kesejahteraan anak dan demi kepentingan anak itu sendiri tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat mengingat setiap perkara pidana yang diputus pengadilan tujuannya adalah demi kepentingan publik. Akan tetapi, kepentingan anak tidak boleh dikorbankan demi kepentingan masyarakat
Dalam dunia akademis penanganan delik anak selalu terfokus kepada usaha penal dengan cara menggunakan hukum pidana dan usaha nonpenal yang lebih mengedepankan usaha-usaha di luar penggunaan hukum pidana (preventif). Pendekatannya lebih mengedepankan pendekatan khusus dengan alasan pertama bahwa anak yang melakukan kejahatan jangan dipandang sebagai seorang penjahat, tetapi harus dipandang sebagai anak yang memerlukan kasih sayang. Kedua, kalaupun akan dilakukan pendekatan yuridis hendaknya lebih mengedepankan pendekatan persuasif, edukatif, serta psikologi. Pendekatan penegakan hukum sejauh mungkin dihindari karena akan menjatuhkan mental dan semangat anak tersebut untuk kembali ke jalan yang benar. Ketiga, tata cara peradilan pidana kalaupun akan dilakukan haruslah benar-benar mencerminkan peradilan yang dapat memberikan kasih sayang kepada anak-anak dan remaja tersebut.
Perlindungan hukum terhadap anak-anak dan remaja yang melakukan tindak pidana telah diberikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak di samping instrumen hukum internasional berupa konvensi-konvensi yang dikeluarkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa seperti Beijing Rules. akan tetapi, secara subtansi masih terlihat bahwa UU tentang Pengadilan Anak ini masih mengedepankan penggunaan sanksi pidana baik pidana badan maupun pidana lainnya sehingga apa yang diharapkan kepada tindakan persuasif dan edukatif belum terlihat.
Dalam pengadilan anak semestinya dikembangkan konsep-konsep seperti famili model dalam sistem peradilan pidana, pelaku kejahatan apalagi anak-anak diperlakukan sebagai sebuah anggota keluarga yang tersesat dalam mengarungi kehidupan sehingga penyelesaiannya lebih mengedepankan memberikan kesempatan dan membimbing pelaku kejahatan supaya kembali lagi kepada kehidupan yang sejalan dengan norma masyarakat dan norma hukum.
Tidak kalah pentingnya dalam penanganan anak-anak delikuen apabila menggunakan sarana penal melalui sistem peradilan pidana adalah kesempatan menggunakan penasihat hukum atau access to legal council. Di samping hak-hak lain yang harus dibedakan dengan pelaku dewasa. Kesempatan anak-anak pelaku kejahatan menghubungi keluarganya harus dibuka lebar-lebar oleh polisi, jaksa, maupun pengadilan mengingat seluruh subsistem peradilan pidana ini pun mempunyai kewajiban memikirkan nasib anak-anak dan remaja pelaku kejahatan ini baik ketika menjalani hukuman maupun setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan.
Sebetulnya, ruang pengadilan yang ada sekarang ini tidak kondusif bagi peradilan pidana terhadap anak-anak delikuen. Harus diciptakan suasana ruang pengadilan yang betul-betul mencerminkan perlindungan hukum, perlindungan mental, dan suasana kasih sayang terhadap anak-anak dan remaja pelaku kejahatan sehingga kejadian terdakwa yang anak-anak menangis di pengadilan tidak terulang lagi. Pengadilan harus bisa menciptakan atau memutuskan perkara-perkara yang melibatkan anak-anak dan remaja ke arah putusan yang menjadikan pelaku anak itu menjadi baik serta menjamin hak-hak masyarakat tidak terabaikan.
Pemerintah tak tanggap geng motor


(Istimewa)
MEDAN - Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM),  Muhammad Nurohman Hadjam mengatakan, pemerintah pusat hingga daerah kurang memberikan fasilitas memadai untuk penyaluran energi-energi remaja yang sedang tumbuh mekar ke arah yang positif. Akibatnya, energi-energi yang sedang tumbuh kembang itu dilampiaskan dengan hal-hal yang negatif seperti tawuran dan geng motor.

Nurohman mengatakan, pemerintah kurang tanggap terhadap para geng motor ini. Seharusnya pemerintah mengantisipasi keberadaan geng motor tersebut sebelum mereka menjalankan aksinya.

“Jika sarana positif tak tersedia untuk melampiaskan energi-energi remaja yang tengah tumbuh kembang, maka mereka akan melampiaskannya ke arah yang negatif. Inilah salah satu pemicu maraknya kasus tawuran siswa dan genk motor, “ kata Nurohman di Medan.

Ia menyarankan, perlu penanganan yang holistik untuk mengatasi kasus-kasus kekerasan dan kenakalan yang terjadi di kalangan remaja Indonesia.  “Untuk itu, antara guru, orangtua siswa, masyarakat dan pemerintah  harus bergandeng  tangan untuk menyediakan fasilitas sebagai tempat penyaluran energi remaja yang tengah tumbuh kembang,” ucap Nurohman, hari ini.

Menurut mantan Dekan Fakultas Psikologi UGM ini, selain menyediakan fasilitas bagi remaja untuk menyalurkan energinya ke arah positif, yang harus dilakukan adah pendidikan karakter. Namun, dia menyarankan, pendidikan karakter bukan diitujukan untuk orang dewasa, melainkan harus dibangun sejak usia dini/taman kanak-kanak hingga sekolah menengah.

“Agar pendidikan karakter berhasil, guru-gurunya harus diberi informasi dan latihan bagaimana membangun karakter anak dan mendidik dengan cara yang benar. Intinya, guru harus mampu membentuk siswa yang berbudi pekerti,” tuturnya.

Sementara itu, Kapolresta Medan, Kombes Tagam Sinaga mengatakan, orangtua diminta agar terus memantau maupun mengawasi semua kegiatan anaknya. Dengan ikut berperannya orangtua diharapkan dapat mencegah anak-anak tersebut bergabung kedalam kelompok geng motor yang kini telah membuat keresahan masyarakat kota Medan.

”Orangtua harus memantau semua kegiatan anaknya. Bukan hanya ketika di dalam, tapi yang perlu diawasi ketika berada di luar rumah, apalagi ketika malam minggu,” himbau Kapolresta Medan, Kombes Tagam Sinaga.

Dikatakan Tagam, dalam mencegah kerusuhan yang dilakukan oleh kelompok geng motor, Polresta Medan telah melakukan berbagai cara dan tindakan seperti melakukan sosialisasi maupun pendekatan secara persuasif. Namun demikian, tanpa adanya peran serta orangtua upaya polisi ini akan sia-sia saja sehingga aksi brutal kelompok geng motor ini kembali terulang.

Geng Motor dan Lemahnya Pengawasan Orangtua

Saya paling ngeri kalau pulang malam-malam, apalgi kalau malam minggu atau minggu malam. Bukan takut hantu, jin, dan sebagainya, tetapi takut kalau bertemu geng motor. Geng motor di Bandung sangat meresahkan karena sudah mengancam keselamatan jiwa orang yang tidak tahu apa-apa. Tadi pagi saya baca koran PR yang berita utamanya tentang keberingasan geng motor di Jalan Dago. Mereka secara brutal merusak toko-toko, menggasak barang, dan menyerang orang yang lagi duduk-duduk. Baca beritanya deh di sini.
Geng motor itu adalah kumpulan anak-anak muda yang kebanyakan remaja tanggung (SMP dan SMA/SMK). Mereka berkonvoi di jalan-jalan secara bergerombol. Kalau ada orang yang lagi kongkow-kongkow di pinggir jalan, mereka serang dengan senjata tajam berbentuk golok atau samurai. Kalau ada yang naik motor malam-malam dan bertemu kelompok ini, alamat badan tidak akan selamat. Kalau tidak harta yang melayang (baca berita ini), badan yang bonyok karena diserang. Sudah banyak korban jiwa akibat serangan geng motor ini. Beberapa bulan lalu ada yang tewas malah (baca berita ini). Kalau yang luka-luka sudah tidak terhitung lagi banyaknya (baca berita ini).
Ada yang bilang mereka melakukan itu dalam keadaan mabuk. Tahu sendiri kalau di Bandung minuman keras sangat mudah diperoleh di warung-warung. Perda Miras yang sekarang dibahas di DPRD Kota Bandung tetap saja belum tuntas, karena ada tarik ulur antara elemen masyarakat yang menentang dengan pengusaha dan penguasa.
Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa geng motor itu beraksi tidak dalam keadaan mabuk. Ada teori psikologi massa yang dapat menjelaskan hal ini. Teori itu mengatakan bahwa sekelompok orang kalau berada bersama-sama maka akan timbul keberanian yang datang secara tiba-tiba. Keberanian itu berubah menjadi keberingasan yang melupakan akal sehat. Setiap orang di dalam kelompok tersugesti berbuat apa saja karena mereka sudah dikendalikan oleh nafsu untuk menghancurkan apa saja yang mereka lewati. Teori ini juga dapat menjelaskan perilaku bobotoh Persib jika kesebelasannya kalah menghadapi lawan. Bobotoh berkonvoi berkeliling kota dan meluapkan rasa amarah mereka dengan menghancurkan dan menyerang apa saja yang mereka temui.
Saya melihat geng motor yang beringas ini hanya ada di Jawa Barat (kalau ingin tahu sejarah geng motor di Bandung baca yang ini). Saya tidak pernah mendengar berita ada geng motor di luar Jawa Barat yang bikin aksi meresahkan. Sekilas sangat aneh, di daerah Pasundan yang orangnya terkenal lemah lembut tetapi kok ada aksi kebrutalan geng motor. Apa yang menyebabkan timbulnya keberingasan geng motor?
Secara individu setiap anggota geng motor ini adalah anak yang polos dan terlihat biasa-biasa saja. Sehari-hari mereka adalah pelajar yang tidak terlihat nakal, apalagi brutal. Namun jika sudah berkumpul dalam kelompoknya, maka perilaku mereka dipengaruhi oleh ideologi kelompok. Musuh mereka adalah geng motor yang lain. Jadi, sasaran mereka dalam berhuru-hara malam adalah mencari anggota geng motor lainnya, namun karena tidak bertemu, maka masyarakatlah yang jadi sasarannya.
Yang salah dalam hal ini adalah orangtua. Orangtua tidak mengawasi anak-anaknya, anaknya bergaul dengan siapa saja, ikut siapa saja, keluar kemana saja. Orangtua mereka — yang rata-rata dari golongan ekonomi menengah ke bawah — habis waktunya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mana sempat mereka memperhatikan pergaulan anak-anak mereka. Anak-anak itu akhirnya mencari kelompoknya sendiri untuk menunjukkan jatidirinya. Geng motor adalah pilihan yang menarik karena hobi konvoi dengan motor tersalurkan. Apalagi sepeda motor sangat mudah diperoleh saat ini dengan cicilan yang ringan. Rata-rata orangtau mereka memiliki sepeda motor, dan dengan sepeda motor itu mereka menyalurkan aksinya untuk berkonvoi keliling kota.
Sampai saat ini belum ditemukan cara mengatasi dan membina geng motor. Dilarang juga tidak mungkin, sebab mereka adalah organisasi bawah tanah. Masyarakat yang beraktivitas pada malan hari dibuat resah oleh kehadirannya. Kota Bandung belum memberi rasa aman di malam hari.

Deding: Penting Mencegah Maraknya Geng Motor

Sabtu, 4 Des 2010
Anggota Komisi III DPR RI, H. Deding Ishak mengapresiasi komitmen bersama antara Kapolda Jabar, Irjen Suparni Parto dan Pangdam III/Siliwangi, Mayjen Moeldoko untuk menindak tegas aparat kepolisian dan TNI yang terlibat dalam aktivitas berandal bermotor. “Komitmen seperti ini penting untuk mencegah masuknya keterlibatan anggota polisi dan TNI dalam kegiatan berandal bermotor, baik secara langsung maupun tidak langsung,” ujarnya di Jakarta.
Deding mengakui, aktivitas berandal bermotor di wilayah Jawa Barat sudah sangat meresahkan sebab masyarakat acap menjadi sasaran kejahatan gerombolan bersepeda motor tersebut.
Itu sebabnya, Deding yang juga Deputi Bidang Polkam Fraksi Partai Golkar (FPG) DPR RI ini berharap komitmen bersama kapolda dan pangdam itu direalisasikan di lapangan dengan menindak tegas –bahkan memecat– anggota polisi dan TNI yang terlibat kegiatan geng motor.
“Ini sejalan dengan komitmen yang disampaikan kapolda kepada rombongan Komisi III DPR saat kami melakukan kunjungan kerja ke Bandung, akhir November lalu, di mana ditegaskan bahwa kapolda bersama kapolres se-Jawa Barat akan menindak tegas anggota geng motor,” ujarnya.
Deding menyambut baik langkah Kapolda Jabar untuk menindak tegas polisi yang terlibat dalam geng motor karena mereka biasanya menjadi berani dan lebih berani akibat merasa didukung oleh oknum polisi.
Komisi III DPR dalam beberapa rapat kerja dengan Kapolri telah mendesak jajaran Polri untuk memberantas premanisme dan potensi gejala premanisme termasuk geng motor untuk diberikan tindakan yang tegas guna menciptakan rasa aman di kalangan masyarakat, yang sampai hari ini sangat terganggu.
Oleh karenanya, Deding menyarankan kepolisian untuk membangun komunikasi yang intens dengan berbagai komponen masyarakat terutama kalangan tokoh agama, pendidik dan unsur lainnya dalam rangka mendukung langkah penindakan Polri dalam memberantas bentuk-bentuk kegiatan yang mengganggu rasa aman masyarakat.
Sebelumnya Moeldoko mengatakan, jika ada prajurit yang melibatkan diri maka akan ditindak tegas. “Seluruh prajurit diimbau untuk tidak memasuki area yang terlarang seperti itu. Kami mencoba dengan kapolda untuk bersama menertibkan berandal bermotor itu,” ujarnya.
oeldoko menegaskan, jika ada prajuritnya yang sudah memasuki ranah hukum, sanksi yang bisa diberikan adalah masuk penjara atau dicopot dari jabatan. “Kami tidak segan-segan untuk memberikan sanksi,” katanya.
Hal yang sama ditegaskan Suparni Parto melalui Kabid Humas Polda Jabar, Komisaris Besar Agus Rianto. Dia mengatakan, jika ada anggota Polri atau keluarganya terlibat berandal bermotor, tidak ada toleransi lagi.
“Kapolda telah mengeluarkan kebijakan internal bersama Pangdam untuk melakukan pencegahan secara internal,” tuturnya. Menurut dia, jika terbukti terlibat, anggota tersebut akan diproses secara hukum.

Jumat, 25 November 2011

Deklarasi Pembubaran Geng Motor Sambut Tahun Baru 2011

Deklarasi Pembubaran Geng Motor Sambut Tahun Baru 2011

BANDUNG (Lintasjabar.com),- Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan bersama Kapolda Jawa Barat Irjen Suparni Parto bersama jajaran Forum Koordinasi Pimpinan Daerah menyaksikan deklarasi pembubaran 4 geng motor ternama se Jawa Barat. Acara deklarasi tersebut diikuti empat geng motor di Jawa Barat, yakni XTC, Brigez, Moonraker, dan GBR. Deklarasi dilakukan di Halaman Markas Kepolisian Daerah (Mapolda) Jawa Barat, Jalan Soekarno Hatta, Jumat (31/12). Deklarasi itu sekaligus mendukung gerakan Jabar Kondusif 2011.
Dalam sambutannya, Heryawan menyampaikan apresiasi dan bahagianya atas inisiatif seluruh elemen untuk membubarkan geng motor. Untuk itu. Ke depan perlu upaya yang lebih kongkrit terkait dengan pembinaan generasi muda penggemar motor. “Perlu ada kegiatan yang mewadahi bakat anak muda di bidang otomotif. Diharapkan dengan adanya kegiatan itu dapat menjadi ajang mengasah bakat dan prestasi,” tegasnya
Deklarasi ini, lanjut Heryawan, merupakan kado Tahun Baru bagi masyarakat Jawa Barat. “Ini kado tahun baru bagi Jawa Barat semoga ke depannya semua aktivitas anak muda Jawa Barat bersifat prositif dan membangun,” harapnya di hadapan ratusan anggota geng motor yang sudah menyatakan pembubaran itu. Pada kesempatan itu, Gubernur juga menyaksikan pelepasan atribut geng motor sebagai simbol pembubaran.
Keempat geng motor diwakili langsung oleh ketua umumnya masing-masing. Dari XTC Indonesia Warmin, Moonraker Indonesia Arif Rahman, GBR Indonesia Julian Rahmawan, dan Brigez Indonesia Cecep Hendra Erawan. Sementara Deklarasi pembubaran geng motor dipimpin oleh Ketua Umum GBR Indonesia Julian Rahmawan. Isi deklarasi di antaranya, mereka mengakui kegiatan itu merugikan diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Mereka juga ikhlas berhenti beraktivitas bermotor yang mengarah ke hal negatif.
Dalam kesempatan yang sama Suparni Parto menyambut deklarasi ini sebagai langkah yang baik. “Saya mencoba pola baru dan langkah-langkah baru, salah satunya geng motor yang sudah sangat meresahkan masyarakat. Oleh Polri mencoba dengan menguranginya. Tentunya cara yang tepat diantaranya dengan membubarkan geng motor tersebut,” ujarnya. Bubarnya geng motor ini, ujar Kapolda  merupakan fenomena yang menggembirakan dengan tidak kembali menggunakan nama kelompoknya.
Sementara itu, Wakil Wali Kota Bandung, Ayi Vivananda menyatakan, deklarasi atau pernyataan sikap itu dinilainya sebagai hadiah 200 tahun Hari Jadi Kota Bandung mewujudkan suasana kamtimbas Kota Bandung  yang lebih kondusif. Masyarakat dikatakannya,sudah jenuh dengan berbagai kekisruhan antar klub motor, yang diantara kegiatannya tidak jarang mengarah pada tindakan kriminal. ”Kini saatnya anggota dan pengurus klub motor tampil sebagai pahlawan untuk menjaga suasana yang kondusif, berhenti dari tindakan anarkismenya selama ini,” ujarnya.
Pasca pembubaran, kata Ayi, Pemkot  akan mengundang mereka untuk bersama-sama
membahas program kedepan.  Sesuai komitmen, mereka siap di lingkungan hidup, turun membersihkan sungai dan aksi penanaman pohon. “Kita bersama-sama juga akan  menghapus vandalism, corat-coret atribut mereka yang ada di Kota Bandung. Kita akan fasilitasi catnya,”  imbuh Ayi.
Deklarasi Bandung Bersatu dan Bandung Damai, dikatakannya, akan akan memberi nilai tambah jika seluruh anggotanya mengisi kebersatuan dan kedamaian dengan karya-karya nyata bermanfaat bagi kepentingan umum. Berhenti melakukan narkisme dan menyalurkan kreativitasnya secara potitif. “Terima kasih dan apresiatif pada Kapolrestabes Bandung beserta jajaran, yang konsisten dan fokus mengatasi persoalan geng motor selama ini,” ujarnya.
Kapolrestabes Bandung, Kombes Pol Jaya Subriyanto menyatakan, menyelesaikan persoalan geng motor hal terpenting menurutnya bagaimana agar mereka membubarkan lebih dulu, merubah imej yang negatif kearah yang positif. Dirinya tidak akan membeda-bedakan sipapun yang melakukan kriminalitas di jalanan, pihaknya akan melakukan tindakan tegas.
Pembubaran geng motor, diartikannya, mereka tidak akan melakukan kegiatan kriminalitas, kegiatan merugikan masyarakat. Harapannya, nama geng motor beserta atributnya tidak lagi dipakai.
Karena meski ada perubahan kepanjangan tapi masih menggunakan nama geng lama, masyarakat masih akan menilai negatif. Untuk itu dirinya menyarankan istilah GBR, XTC, Moonraker dan Brigez benar-benar dihapus dan dihilangkan.
“Selain sanksi dan tindakan represif sesuai hukum, kita bersama jajaran pimpinan daerah lainnya juga berkomitmen, akan melaporkan siapapun yang terlibat geng motor pada institusinya.  Jika pelajar pada kepala sekolahnya, masyarakat ke RW nya, jika karyawan swasta ke pimpinan perusahaannya, jika PNS, TNI atau Polri ke  atasan  instansinya bekerja.

cara mencegah adanya geng motor

Bagaimana cara mencegah siswa agar tidak terlibat dalam geng motor dilihat dari segi sosiologi ?

Bagaimana cara mencegah siswa agar tidak terlibat dalam geng motor dilihat dari segi sosiologi ?
Pertanyaan : Bagaimana cara mencegah siswa agar tidak terlibat dalam geng motor dilihat dari segi sosiologi ?
Jawaban :
1. Pendahuluan
Geng motor merupakan kelompok sosial yang memiliki dasar tujuan yang sama atau asosiasi yang dapat disebut suatu paguyuban tapi hubungan negatif dengan paguyuban yang tidak teratur dan cenderung melakukan tindakan anarkis. Salah satu kontributor dari munculnya tindakan anarkis adalah adanya keyakinan/anggapan/perasaan bersama (collective belief). Keyakinan bersama itu bisa berbentuk, katakanlah, siapa yang cenderung dipersepsi sebagai maling (dan oleh karenanya diyakini “pantas” untuk dipukuli) ; atau situasi apa yang mengindikasikan adanya kejahatan (yang lalu diyakini pula untuk ditindaklanjuti dengan tindakan untuk, katakanlah, melawan).
Dalam pendapatnya Radam diatas, media-massa dalam hal ini amat efektif menanamkan citra, persepsi, pengetahuan ataupun pengalaman bersama tadi. Maka, sesuatu yang mulanya kasus individual, setelah disebarluaskan oleh media-massa lalu menjadi pengetahuan publik dan siap untuk disimpan dalam memori seseorang. Memori tersebut pada suatu waktu kelak dapat dijadikan referensi oleh yang bersangkutan dalam memilih model perilaku. Adanya keyakinan bersama (collective belief) tentang suatu hal tersebut amat sering dibarengi dengan munculnya geng, simbol, tradisi, graffiti, ungkapan khas dan bahkan mitos serta fabel yang bisa diasosiasikan dengan kekerasan dan konflik.
Pada dasarnya kemunculan hal-hal seperti simbol geng, tradisi dan lain-lain itu mengkonfirmasi bahwa masyarakat setempat mendukung perilaku tertentu, bahkan juga bila diketahui bahwa itu termasuk sebagai perilaku yang menyimpang Adanya dukungan sosial terhadap suatu penyimpangan, secara relatif, memang menambah kompleksitas masalah serta, sekaligus kualitas penanganannya.
Secara perilaku, dukungan itu bisa juga diartikan sebagai munculnya kebiasaan (habit) yang telah mendarah-daging (innate) dikelompok masyarakat itu. Adanya geng-geng motor seperti “XTC, BRIGEZ, GBR, M2R”. Maka adanya pula kecenderungan peningkatan anarki di masyarakat, sadarlah kita bahwa kita berkejaran dengan waktu. Pencegahan anarki perlu dilakukan sebelum tindakan itu tumbuh sebagai kebiasaan baru di masyarakat mengingat telah cukup banyaknya kalangan yang merasakan “asyik”-nya merusak, menjarah, menganiaya bahkan membunuh dan lain-lain tanpa dihujat apalagi ditangkap.
Para pelaku geng motor memang sudah menjadi kebiasaan untuk melanggar hukum. “Kalau soal membuka jalan dan memukul spion mobil orang itu biasa dan sering dilakukan pada saat konvoi.
Setiap geng memang tidak membenarkan tindakan itu, tapi ada tradisi yang tidak tertulis dan dipahami secara kolektif bahwa tindakan itu adalah bagian dari kehidupan jalanan. Apalagi jika yang melakukannya anggota baru yang masih berusia belasan tahun. Mereka mewajarkannya sebagai salah satu upaya mencari jati diri dengan melanggar kaidah hukum. Kondisi seperti ini sangat memprihatinkan dan perlu penyikapan yang bijaksana. Dalam konteks penanganan kejahatan yang dilakukan anak-anak dan remaja masih diperdebatkan apakah sistem peradilan pidana harus dikedepankan atau penyelesaian masalah secara musyawarah (out of court settlement) tanpa bersentuhan dengan sistem peradilan pidana yang lebih dominan walaupun dalam sistem hukum pidana positif kita, penyelesaian perkara pidana tidak mengenal musyawarah.
Dalam kutipan saya dari sebuah artikel pikiran rakyat :
Betapa rentan dan lemahnya anak-anak atau remaja yang melakukan kejahatan dapat dilihat dari bunyi pasal 45 KUHP. KUHP kita tidak memberi ruang sedikit pun untuk menyelesaikan kejahatan-kejahatan yang dilakukan anak selain melalui sistem peradilan pidana yang sering dikatakan selalu memberikan penderitaan kepada pihak-pihak yang terlibat di dalamnya khususnya pelaku kejahatan baik pelaku dewasa maupun pelaku anak-anak dan remaja.
Peradilan pidana bagi anak-anak pelaku kejahatan mempunyai dua sisi yang berbeda, di satu sisi sebagaimana diakui konvensi anak-anak, bahwa anak-anak perlu perlindungan khusus. Di sisi lain, "penjahat anak-anak" ini berhadapan dengan posisi masyarakat yang merasa terganggu akibat perilaku jahat dari anak-anak dan remaja tersebut. Kemudian juga anak-anak dan remaja ini akan berhadapan dengan aparat penegak hukum yang secara sempit hanya bertugas melaksanakan undang-undang sehingga pelanggaran dan tata cara perlindungan terhadap pelaku anak, rentan terjadi.
Sebetulnya perhatian kita terhadap perlindungan anak-anak dan remaja pelaku kejahatan harus semakin meningkat. Dunia internasional pun sejak 1924 dalam deklarasi hak-hak anak kemudian diperbarui 1948 dalam deklarasi hak asasi manusia dan mencapai puncaknya dalam Deklarasi Hak anak (Declaration on The Rights of Child) 1958 menegaskan karena alasan fisik dan mental serta kematangan anak-anak, maka anak-anak membutuhkan perlindungan serta perawatan khusus termasuk perlindungan hukum.
Manakala anak-anak dan remaja pelaku kejahatan tersebut bersentuhan dengan sistem peradilan pidana, masyarakat meyakini bahwa mereka sedang belajar di akademi penjahat. Hasil yang dikeluarkan oleh sistem peradilan pidana hanya akan menghasilkan penjahat-penjahat baru.
Kegetiran ataupun masalah-masalah yang dihadapi anak dalam menghadapi sistem peradilan pidana tentu harus ada perhatian dan penyelesaian yang baik, namun kita juga tidak perlu mengabaikan terlaksana hukum dan keadilan, sebab peradilan menunjukkan kepada kita bahwa penyelesaian melalui pengadilan dilakukan secara benar (due process of law) demi kepentingan pelaku anak-anak dan remaja serta masyarakat di lain pihak.
Satu hal penting dalam peradilan anak adalah segala aktivitas harus dilakukan atau didasarkan prinsip demi kesejahteraan anak dan demi kepentingan anak itu sendiri tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat mengingat setiap perkara pidana yang diputus pengadilan tujuannya adalah demi kepentingan publik. Akan tetapi, kepentingan anak tidak boleh dikorbankan demi kepentingan masyarakat
Dalam dunia akademis penanganan delik anak selalu terfokus kepada usaha penal dengan cara menggunakan hukum pidana dan usaha nonpenal yang lebih mengedepankan usaha-usaha di luar penggunaan hukum pidana (preventif). Pendekatannya lebih mengedepankan pendekatan khusus dengan alasan pertama bahwa anak yang melakukan kejahatan jangan dipandang sebagai seorang penjahat, tetapi harus dipandang sebagai anak yang memerlukan kasih sayang. Kedua, kalaupun akan dilakukan pendekatan yuridis hendaknya lebih mengedepankan pendekatan persuasif, edukatif, serta psikologi. Pendekatan penegakan hukum sejauh mungkin dihindari karena akan menjatuhkan mental dan semangat anak tersebut untuk kembali ke jalan yang benar. Ketiga, tata cara peradilan pidana kalaupun akan dilakukan haruslah benar-benar mencerminkan peradilan yang dapat memberikan kasih sayang kepada anak-anak dan remaja tersebut.
Perlindungan hukum terhadap anak-anak dan remaja yang melakukan tindak pidana telah diberikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak di samping instrumen hukum internasional berupa konvensi-konvensi yang dikeluarkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa seperti Beijing Rules. akan tetapi, secara subtansi masih terlihat bahwa UU tentang Pengadilan Anak ini masih mengedepankan penggunaan sanksi pidana baik pidana badan maupun pidana lainnya sehingga apa yang diharapkan kepada tindakan persuasif dan edukatif belum terlihat.
Dalam pengadilan anak semestinya dikembangkan konsep-konsep seperti famili model dalam sistem peradilan pidana, pelaku kejahatan apalagi anak-anak diperlakukan sebagai sebuah anggota keluarga yang tersesat dalam mengarungi kehidupan sehingga penyelesaiannya lebih mengedepankan memberikan kesempatan dan membimbing pelaku kejahatan supaya kembali lagi kepada kehidupan yang sejalan dengan norma masyarakat dan norma hukum.
Tidak kalah pentingnya dalam penanganan anak-anak delikuen apabila menggunakan sarana penal melalui sistem peradilan pidana adalah kesempatan menggunakan penasihat hukum atau access to legal council. Di samping hak-hak lain yang harus dibedakan dengan pelaku dewasa. Kesempatan anak-anak pelaku kejahatan menghubungi keluarganya harus dibuka lebar-lebar oleh polisi, jaksa, maupun pengadilan mengingat seluruh subsistem peradilan pidana ini pun mempunyai kewajiban memikirkan nasib anak-anak dan remaja pelaku kejahatan ini baik ketika menjalani hukuman maupun setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan.
Sebetulnya, ruang pengadilan yang ada sekarang ini tidak kondusif bagi peradilan pidana terhadap anak-anak delikuen. Harus diciptakan suasana ruang pengadilan yang betul-betul mencerminkan perlindungan hukum, perlindungan mental, dan suasana kasih sayang terhadap anak-anak dan remaja pelaku kejahatan sehingga kejadian terdakwa yang anak-anak menangis di pengadilan tidak terulang lagi. Pengadilan harus bisa menciptakan atau memutuskan perkara-perkara yang melibatkan anak-anak dan remaja ke arah putusan yang menjadikan pelaku anak itu menjadi baik serta menjamin hak-hak masyarakat tidak terabaikan.
2. Solusi Meminimalisir Geng-geng Motor secara umum.
Mengapa ada sebagian kalangan remaja yang mudah terbujuk untuk mengikuti geng motor?
Benarkah seluruh fenomena itu sekadar persoalan psikologis, ataukah justru lebih bercorak sosiologis?
Apabila problem sosial itu dilihat dari perspektif psikologistis, maka penilaian yang muncul adalah kaum remaja yang menjadi anggota geng motor tersebut sedang melampiaskan hasrat tersembunyinya.
Dalam bahasa psikoanalisis Sigmund Freud (1856-1939), kaum remaja itu lebih mengikuti kekuatan id (dorongan-dorongan agresif) ketimbang superego (hati nurani). Keberadaan ego (keakuan) mereka gagal untuk memediasi agresivitas menjadi aktivitas sosial yang dapat diterima dengan baik dalam kehidupan sosial (sublimasi).
Namun, pendekatan psikologis itu sekadar mampu mengungkap persoalan dalam lingkup individual. Itu berarti nilai-nilai etis yang berdimensi sosial cenderung untuk dihilangkan. Padahal, kehadiran geng motor lebih banyak berkaitan dengan problem sosiologis.
Definisi tentang geng itu sendiri sangat jelas identik dengan kehidupan berkelompok. Hanya saja geng memang memiliki makna yang sedemikian negatif. Geng bukan sekadar kumpulan remaja yang bersifat informal. Geng dalam bahasa Inggris adalah sebuah kelompok penjahat yang terorganisasi secara rapi. Dalam konsep yang lebih moderat, geng merupakan sebuah kelompok kaum muda yang pergi secara bersama-sama dan seringkali menyebabkan keributan. Tentunya sangat banyak faktor penyebab remaja terjerumus ke dalam kawanan geng motor. Namun, salah satu penyebab utama mengapa remaja memilih bergabung dengan geng motor adalah KURANGNYA PERHATIAN DAN KASIH SAYANG ORANGTUA. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh terlalu sibuknya kedua orang tua mereka dengan pekerjaan, sehingga perhatian dan kasih sayang kepada anaknya hanya diekspresikan dalam bentuk materi saja. Padahal materi tidak dapat mengganti dahaga mereka akan kasih sayang dan perhatian orang tua.
Pada dasarnya setiap orang menginginkan pengakuan, perhatian, pujian, dan kasih sayang dari lingkungannya, khususnya dari orang tua atau keluarganya, karena secara alamiah orang tua dan keluarga memiliki ikatan emosi yang sangat kuat. Pada saat pengakuan, perhatian, dan kasih sayang tersebut tidak mereka dapatkan di rumah, maka mereka akan mencarinya di tempat lain. Salah satu tempat yang paling mudah mereka temukan untuk mendapatkan pengakuan tersebut adalah di lingkungan teman sebayanya. Sayangnya, kegiatan-kegiatan negatif kerap menjadi pilihan anak-anak broken home tersebut sebagai cara untuk mendapatkan pengakuan eksistensinya.
Faktor lain yang juga ikut berperan menjadi alasan mengapa remaja saat ini memilih bergabung dengan geng motor adalah kurangnya sarana atau media bagi mereka untuk mengaktualisasikan dirinya secara positif.
Remaja pada umumnya, lebih suka memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi. Namun, ajang-ajang lomba balap yang legal sangat jarang digelar. Padahal, ajang-ajang seperti ini sangat besar manfaatnya, selain dapat memotivasi untuk berprestasi, juga sebagai ajang aktualisasi diri. Karena sarana aktualisasi diri yang positif ini sulit mereka dapatkan, akhirnya mereka melampiaskannya dengan aksi ugal-ugalan di jalan umum yang berpotensi mencelakakan dirinya dan oranglain.
Kutipan dari Pikiran Rakyat : "Solusi Alternatif Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung, Oji Mahroji, menginstruksikan kepada seluruh Kepala Sekolah agar tidak segan-segan menindak siswanya yang terbukti terlibat dalam organisasi geng motor, kalau perlu dikeluarkan dari sekolah. Diharapkan, tindakan tersebut dapat menekan jumlah anggota geng motor dan aksi brutal mereka."
Sebenarnya tindakan tersebut tidak sepenuhnya efektif. Butuh keberanian yang besar dan beresiko tinggi untuk melakukannya. Salah satu solusi yang bisa memperbaiki keadaan mereka secara efektif adalah peran; kepedulian; dan kasih sayang orang tua mereka sendiri.
Solusi ini akan lebih efektif, mengingat penyebab utama mereka memilih geng motor sebagai bagian kehidupannya adalah karena mereka merasa jauh dari kasih sayang orang tua. Dalam menterapi anaknya yang sudah terlanjur terlibat anggota geng motor, orang tua bisa bekerja sama dengan psikolog yang mereka percayai. Sehingga secara pasikologis sedikit demi sedikit anak akan mendapatkan kembali kenyamanan berada dalam kasih sayang orang tua serta Penanaman Nilai-nilai Agama sebagai upaya preventif terhadap peningkatan jumlah anggota geng motor di kemudian hari, perlu dilakukan penanaman nilai-nilai agama sejak dini. terutama tentang akhlaq (moral dan etika). Dengan begitu anak akan mengetahui mana yang layak dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Sehingga pada saat mereka sudah mulai berinteraksi dengan masyarakat mereka tahu batasan-batasan dan aturan yang harus dipatuhi.
Selain itu bagaimana melakukan pengendalian atau kontrol sosial atas merebaknya geng motor itu?
Dalam literatur sosiologi (Paul B Horton dan Chester L Hunt, 1964: 140-146, dan Alex Thio, 1989: 176-182), ada cara yang dapat dikerahkan untuk mengatasi deviasi sosial. Yaitu:
Internalisasi atau penanaman nilai-nilai sosial melalui kelompok informal atau formal. Lembaga-lembaga sosial, seperti keluarga dan sekolah, adalah kekuatan yang dapat membatasi meluasnya geng motor. Mekanisme pengendalian itu lazim disebut sebagai sosialisasi. Dalam proses sosialisasi itu, setiap unit keluarga dan sekolah memiliki tanggung jawab membentuk, menanamkan, dan mengorientasikan harapan-harapan, kebiasaan-kebiasaan, serta tradisi-tradisi yang berisi norma-norma sosial kepada remaja. Bahkan, hal yang harus ditegaskan adalah sosialisasi yang bersifat informal dalam lingkup keluarga jauh lebih efektif. Sebab, dalam domain sosial terkecil itu terdapat jalinan yang akrab antara orang tua dengan remaja.
Kedua, penerapan hukum pidana yang dilakukan secara formal oleh pihak negara. Dalam kaitan itu, aparat penegak hukum, seperti kepolisian, pengadilan, dan lembaga pemenjaraan, digunakan untuk mengatasi geng motor.
Keuntungannya adalah penangkapan dan pemberian hukuman kepada anggota-anggota geng motor yang melakukan tindakan kriminal mampu memberikan efek jera bagi anggota-anggota atau remaja lain.
Kerugiannya, aplikasi hukum pidana membatasi kebebasan pihak lain yang tidak berbuat serupa. Bukankah dalam masyarakat ada kelompok-kelompok pengendara sepeda motor yang memiliki tujuan-tujuan baik, misalnya untuk menyalurkan hobi automotif.
Ketiga, deskriminalisasi yang berarti bahwa eksistensi geng-geng motor justru diakui secara hukum oleh negara. Tentu saja, deskriminalisasi bukan bermaksud untuk melegalisasi kejahatan, kekerasan, dan berbagai pelanggaran norma-norma sosial yang dilakukan remaja. Deskriminalisasi memiliki pengertian sebagai "kejahatan yang tidak memiliki korban". Prosedur yang dapat ditempuh adalah pihak pemerintah dan masyarakat membuka berbagai jenis ruang publik yang dapat digunakan kaum remaja untuk mengekspresikan keinginannya, terutama dalam menggunakan kendaraan bermotor. Lapangan terbuka atau arena balap bisa jadi merupakan jalan keluar terbaik.
Kehadiran geng motor merupakan fenomena sosial yang harus direspons secara proporsional oleh para sosiolog dan ahli hukum dalam mengatasi merebaknya geng-geng motor di Indonesia.
3. Solusi Pemecahan masalah disekolah
Dalam dunia akademis penanganan delik anak selalu terfokus kepada usaha penal dengan cara menggunakan hukum pidana dan usaha nonpenal yang lebih mengedepankan usaha-usaha di luar penggunaan hukum pidana (preventif). Pendekatannya lebih mengedepankan pendekatan khusus dengan alasan pertama bahwa anak yang melakukan kejahatan jangan dipandang sebagai seorang penjahat, tetapi harus dipandang sebagai anak yang memerlukan kasih sayang. Kedua, kalaupun akan dilakukan pendekatan yuridis hendaknya lebih mengedepankan pendekatan persuasif, edukatif, serta psikologi. Pendekatan penegakan hukum sejauh mungkin dihindari karena akan menjatuhkan mental dan semangat anak tersebut untuk kembali ke jalan yang benar
Kita memang tak semestinya saling menyalahkan, karena semua ini kesalahan kita bersama, kesalahan kita sebagai bangsa yang mengaku beradab. Kita harus mengambil langkah, tidak mesti dengan menghukum, tapi tepatnya memberi pengarahan. Karena bagaimanapun, suka tidak suka, merekalah generasi penerus, pelaku masa depan.
Ya, adalah tanggung jawab kita semua untuk memikirkan jalan keluar masalah ini. Baik kalangan orang tua, lembaga pendidikan dan juga lingkungan pergaulan. Karena sekali lagi, keseimbangan menjadi kunci dari kehidupan kita sebagai bangsa yang beradab.Ketiga, tata cara peradilan pidana kalaupun akan dilakukan haruslah benar-benar mencerminkan peradilan yang dapat memberikan kasih sayang kepada anak-anak dan remaja tersebut.
Sekolah memiliki tanggung jawab membentuk, menanamkan, dan mengorientasikan harapan-harapan, kebiasaan-kebiasaan, serta tradisi-tradisi yang berisi norma-norma sosial kepada remaja. Sekolah harus peka terhadap kebutuhan suatu aktifitas secara kinetetis, kognitif afektif. Bukalah ruang ruang seperti kegiatan extra kurikuler, couceling, ruang perpustakaan resouces harus ditambah dan dibuat semenarik mungkin organisasi osis di tingkatkan aktivitasnya,terapkan nilai nilai keagamaan dalam intensitas yang cukup , serta guru harus jeli dalam mencari provokator tindakan yang melanggar etika dan tanggung jawab sebagai pelajar dengan pendekatan 3 M (Melayani, Melindungi serta Mengayomi) Bahkan hal yang harus ditegaskan adalah sosialisasi yang bersifat informal dalam lingkup keluarga jauh lebih efektif. Sebab, dalam domain sosial terkecil itu terdapat jalinan yang akrab antara orang tua dengan remaja.
Kedua, penerapan hukum pidana yang dilakukan secara formal oleh pihak negara. Dalam kaitan itu, aparat penegak hukum, seperti kepolisian, pengadilan, dan lembaga pemenjaraan, digunakan untuk mengatasi geng motor.
KESIMPULAN
Kita memang tak semestinya saling menyalahkan, karena semua ini kesalahan kita bersama, kesalahan kita sebagai bangsa yang mengaku beradab. Kita harus mengambil langkah, tidak mesti dengan menghukum, tapi tepatnya memberi pengarahan. Karena bagaimanapun, suka tidak suka, merekalah generasi penerus, pelaku masa depan. Ya, adalah tanggung jawab kita semua untuk memikirkan jalan keluar masalah ini. Baik kalangan orang tua, lembaga pendidikan dan juga lingkungan pergaulan. Karena sekali lagi, keseimbangan menjadi kunci dari kehidupan kita sebagai bangsa yang beradab.