Sabtu, 03 Desember 2011

Geng Motor dari segi sosiologi dan hukum serta Solusi meminimalisir geng-geng motor.

Sebenarnya geng-geng motor sudah ada dari tahun 1978. Yang namanya melegenda saat itu adalah geng motor "M2R" atau Moonraker.
Ya, Bandung lautan gangster sudah mendarah daging dikarenakan sudah ada sejak dari dulu. Disaat geng motor & gangster diseluruh dunia sedang naik daun, seperti di Jepang tahun 70an geng motor lagi jaman, di Amerika gangster tahun 70an baru-baru naik, di Korea tahun 70an juga sama kaya di Jepang dan sama halnya dengan di Bandung tahun 70an ada Moonraker.

Pada saat acara Jambore otomotif yang diadakan oleh IMI kemarin sangat disayangkan terjadi bentrokan antar geng motor yang menelan korban. Hal ini mesti dijadikan pelajaran bagi seluruh insan bikers agar tidak mudah terprovokasi oleh oknum dari anggotanya sendiri. Dan siapa sebenarnya yang patut disalahkan ?

Dalam blog yang saya buat dan saya kutip dari beberapa artikel ini mungkin berguna bagi anda yang ingin mengetahui latar belakang dari para remaja yang mengikuti aktivitas daripada geng-geng motor.


1. Geng Motor Dari Segi Sosiologi Dan Hukum

Geng motor merupakan kelompok sosial yang memiliki dasar tujuan yang sama atau asosiasi yang dapat disebut suatu paguyuban tapi hubungan negatif dengan paguyuban yang tidak teratur dan cenderung melakukan tindakan anarkis. Salah satu kontributor dari munculnya tindakan anarkis adalah adanya keyakinan/anggapan/perasaan bersama (collective belief). Keyakinan bersama itu bisa berbentuk, katakanlah, siapa yang cenderung dipersepsi sebagai maling (dan oleh karenanya diyakini “pantas” untuk dipukuli) ; atau situasi apa yang mengindikasikan adanya kejahatan (yang lalu diyakini pula untuk ditindaklanjuti dengan tindakan untuk, katakanlah, melawan).
Dalam pendapatnya Radam diatas, media-massa dalam hal ini amat efektif menanamkan citra, persepsi, pengetahuan ataupun pengalaman bersama tadi. Maka, sesuatu yang mulanya kasus individual, setelah disebarluaskan oleh media-massa lalu menjadi pengetahuan publik dan siap untuk disimpan dalam memori seseorang. Memori tersebut pada suatu waktu kelak dapat dijadikan referensi oleh yang bersangkutan dalam memilih model perilaku. Adanya keyakinan bersama (collective belief) tentang suatu hal tersebut amat sering dibarengi dengan munculnya geng, simbol, tradisi, graffiti, ungkapan khas dan bahkan mitos serta fabel yang bisa diasosiasikan dengan kekerasan dan konflik.
Pada dasarnya kemunculan hal-hal seperti simbol geng, tradisi dan lain-lain itu mengkonfirmasi bahwa masyarakat setempat mendukung perilaku tertentu, bahkan juga bila diketahui bahwa itu termasuk sebagai perilaku yang menyimpang Adanya dukungan sosial terhadap suatu penyimpangan, secara relatif, memang menambah kompleksitas masalah serta, sekaligus kualitas penanganannya.
Secara perilaku, dukungan itu bisa juga diartikan sebagai munculnya kebiasaan (habit) yang telah mendarah-daging (innate) dikelompok masyarakat itu. Adanya geng-geng motor seperti “XTC, BRIGEZ, GBR, M2R”. Maka adanya pula kecenderungan peningkatan anarki di masyarakat, sadarlah kita bahwa kita berkejaran dengan waktu. Pencegahan anarki perlu dilakukan sebelum tindakan itu tumbuh sebagai kebiasaan baru di masyarakat mengingat telah cukup banyaknya kalangan yang merasakan “asyik”-nya merusak, menjarah, menganiaya bahkan membunuh dan lain-lain tanpa dihujat apalagi ditangkap.
Para pelaku geng motor memang sudah menjadi kebiasaan untuk melanggar hukum. “Kalau soal membuka jalan dan memukul spion mobil orang itu biasa dan sering dilakukan pada saat konvoi.
Setiap geng memang tidak membenarkan tindakan itu, tapi ada tradisi yang tidak tertulis dan dipahami secara kolektif bahwa tindakan itu adalah bagian dari kehidupan jalanan. Apalagi jika yang melakukannya anggota baru yang masih berusia belasan tahun. Mereka mewajarkannya sebagai salah satu upaya mencari jati diri dengan melanggar kaidah hukum. Kondisi seperti ini sangat memprihatinkan dan perlu penyikapan yang bijaksana. Dalam konteks penanganan kejahatan yang dilakukan anak-anak dan remaja masih diperdebatkan apakah sistem peradilan pidana harus dikedepankan atau penyelesaian masalah secara musyawarah (out of court settlement) tanpa bersentuhan dengan sistem peradilan pidana yang lebih dominan walaupun dalam sistem hukum pidana positif kita, penyelesaian perkara pidana tidak mengenal musyawarah.

Dalam kutipan dari sebuah artikel pikiran rakyat :
Betapa rentan dan lemahnya anak-anak atau remaja yang melakukan kejahatan dapat dilihat dari bunyi pasal 45 KUHP.
KUHP kita tidak memberi ruang sedikit pun untuk menyelesaikan kejahatan-kejahatan yang dilakukan anak selain melalui sistem peradilan pidana yang sering dikatakan selalu memberikan penderitaan kepada pihak-pihak yang terlibat di dalamnya khususnya pelaku kejahatan baik pelaku dewasa maupun pelaku anak-anak dan remaja.
Peradilan pidana bagi anak-anak pelaku kejahatan mempunyai dua sisi yang berbeda, di satu sisi sebagaimana diakui konvensi anak-anak, bahwa anak-anak perlu perlindungan khusus. Di sisi lain, "penjahat anak-anak" ini berhadapan dengan posisi masyarakat yang merasa terganggu akibat perilaku jahat dari anak-anak dan remaja tersebut. Kemudian juga anak-anak dan remaja ini akan berhadapan dengan aparat penegak hukum yang secara sempit hanya bertugas melaksanakan undang-undang sehingga pelanggaran dan tata cara perlindungan terhadap pelaku anak, rentan terjadi.
Sebetulnya perhatian kita terhadap perlindungan anak-anak dan remaja pelaku kejahatan harus semakin meningkat. Dunia internasional pun sejak 1924 dalam deklarasi hak-hak anak kemudian diperbarui 1948 dalam deklarasi hak asasi manusia dan mencapai puncaknya dalam Deklarasi Hak anak (Declaration on The Rights of Child) 1958 menegaskan karena alasan fisik dan mental serta kematangan anak-anak, maka anak-anak membutuhkan perlindungan serta perawatan khusus termasuk perlindungan hukum.
Manakala anak-anak dan remaja pelaku kejahatan tersebut bersentuhan dengan sistem peradilan pidana, masyarakat meyakini bahwa mereka sedang belajar di akademi penjahat. Hasil yang dikeluarkan oleh sistem peradilan pidana hanya akan menghasilkan penjahat-penjahat baru.
Kegetiran ataupun masalah-masalah yang dihadapi anak dalam menghadapi sistem peradilan pidana tentu harus ada perhatian dan penyelesaian yang baik, namun kita juga tidak perlu mengabaikan terlaksana hukum dan keadilan, sebab peradilan menunjukkan kepada kita bahwa penyelesaian melalui pengadilan dilakukan secara benar (due process of law) demi kepentingan pelaku anak-anak dan remaja serta masyarakat di lain pihak.
Satu hal penting dalam peradilan anak adalah segala aktivitas harus dilakukan atau didasarkan prinsip demi kesejahteraan anak dan demi kepentingan anak itu sendiri tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat mengingat setiap perkara pidana yang diputus pengadilan tujuannya adalah demi kepentingan publik. Akan tetapi, kepentingan anak tidak boleh dikorbankan demi kepentingan masyarakat
Dalam dunia akademis penanganan delik anak selalu terfokus kepada usaha penal dengan cara menggunakan hukum pidana dan usaha nonpenal yang lebih mengedepankan usaha-usaha di luar penggunaan hukum pidana (preventif). Pendekatannya lebih mengedepankan pendekatan khusus dengan alasan pertama bahwa anak yang melakukan kejahatan jangan dipandang sebagai seorang penjahat, tetapi harus dipandang sebagai anak yang memerlukan kasih sayang. Kedua, kalaupun akan dilakukan pendekatan yuridis hendaknya lebih mengedepankan pendekatan persuasif, edukatif, serta psikologi. Pendekatan penegakan hukum sejauh mungkin dihindari karena akan menjatuhkan mental dan semangat anak tersebut untuk kembali ke jalan yang benar. Ketiga, tata cara peradilan pidana kalaupun akan dilakukan haruslah benar-benar mencerminkan peradilan yang dapat memberikan kasih sayang kepada anak-anak dan remaja tersebut.
Perlindungan hukum terhadap anak-anak dan remaja yang melakukan tindak pidana telah diberikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak di samping instrumen hukum internasional berupa konvensi-konvensi yang dikeluarkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa seperti Beijing Rules. akan tetapi, secara subtansi masih terlihat bahwa UU tentang Pengadilan Anak ini masih mengedepankan penggunaan sanksi pidana baik pidana badan maupun pidana lainnya sehingga apa yang diharapkan kepada tindakan persuasif dan edukatif belum terlihat.
Dalam pengadilan anak semestinya dikembangkan konsep-konsep seperti famili model dalam sistem peradilan pidana, pelaku kejahatan apalagi anak-anak diperlakukan sebagai sebuah anggota keluarga yang tersesat dalam mengarungi kehidupan sehingga penyelesaiannya lebih mengedepankan memberikan kesempatan dan membimbing pelaku kejahatan supaya kembali lagi kepada kehidupan yang sejalan dengan norma masyarakat dan norma hukum.
Tidak kalah pentingnya dalam penanganan anak-anak delikuen apabila menggunakan sarana penal melalui sistem peradilan pidana adalah kesempatan menggunakan penasihat hukum atau access to legal council. Di samping hak-hak lain yang harus dibedakan dengan pelaku dewasa. Kesempatan anak-anak pelaku kejahatan menghubungi keluarganya harus dibuka lebar-lebar oleh polisi, jaksa, maupun pengadilan mengingat seluruh subsistem peradilan pidana ini pun mempunyai kewajiban memikirkan nasib anak-anak dan remaja pelaku kejahatan ini baik ketika menjalani hukuman maupun setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan.
Sebetulnya, ruang pengadilan yang ada sekarang ini tidak kondusif bagi peradilan pidana terhadap anak-anak delikuen. Harus diciptakan suasana ruang pengadilan yang betul-betul mencerminkan perlindungan hukum, perlindungan mental, dan suasana kasih sayang terhadap anak-anak dan remaja pelaku kejahatan sehingga kejadian terdakwa yang anak-anak menangis di pengadilan tidak terulang lagi. Pengadilan harus bisa menciptakan atau memutuskan perkara-perkara yang melibatkan anak-anak dan remaja ke arah putusan yang menjadikan pelaku anak itu menjadi baik serta menjamin hak-hak masyarakat tidak terabaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar